Berita

Pelaku Industri Tunggu Kepastian Harga Gas

Kemenperin
15 Aug 2021 16:40:08

Penulis : Administrator

Sumber: Investor Daily (02/03/2020)

JAKARTA - Pelaku industri manufaktur menunggu kepastian penurunan harga gas bumi seperti yang dijanjikan pemerintah. Hal ini diyakini dapat meningkatkan daya saing sekaligus memperbaiki iklim industri manufaktur nasional.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meyakini penurunan harga gas membuat target pertumbuhan industri 5,3% tahun ini tercapai. Sesuai rencana, pengumuman penurunan harga gas bakal dilakukan pada Maret 2020.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, pemerintah menjanjikan penurunan tarif gas industri ke level US$ 6 per million metric british thermal units (mmbtu). Perpres itu menyebutkan, tujuh sektor yang mendapatkan ketetapan harga gas itu yakni industri oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengapresiasi rencana pemerintah menurunkan harga gas industri US$ 6 per mmbtu pada April mendatang. Dia menuturkan, biaya energi atau gas pada industri keramik berkisar 30-35% dari biaya produksi. Harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat mencapai US$ 9,16 per mmbtu, Jawa bagian timur US$ 7,98 per mmbtu, dan Sumatera US$ 9,3-20 per mmbtu

Saat ini, Asaki memiliki 32 anggota industri keramik ubin dengan total kapasitas terpasang 537 juta meter persegi (m2). Utilisasi mencapai 64,5% atau 347 juta meter persegi pada 2019 dan dapat meningkat menjadi 95% jika harga gas dapat diturunkan tahun ini. “Peningkatan hingga 90-95% akan turut menyerap tenaga kerja sekitar 1012 ribu orang,” ujar dia di Jakarta, pekan lalu.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat meyakini, penurunan harga gas industri akan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di Indonesia. “Selama empat tahun, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” papar dia.

Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7-13,9 juta per mmbtu dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rata-rata US$ 10-12 per mmbtu. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan jarak.

Dalam struktur biaya, biaya gas berkontribusi 10-12% untuk produksi fatty acid dan 30-38% dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.300 per dolar AS, disebutkan akan adapenghematan US$ 47,6-81,8 juta per tahun atau Rp 0,68-1,1 triliun per tahun.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menuturkan, penurunan harga gas akan memberikan empat dampak positif, yaitu biaya produksi turun, harga jual turun, memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.

Saat ini, dikatakan Fajar, industri petrokimia mesti membeli gas sebesar US$ 9,17 per mmbtu. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri petrokimia mencapai 74 billion british thermal unit per day (BBTUD). “Yang harus dipahami, turunnya harga gas dapat menggerakkan industrialisasi sehingga pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang bisa lewati 5%,” jelas dia.

Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menjelaskan, pelaku industri menunggu kepastian untuk penurunan harga gas yang diharapkan bisa segera terlaksana. Sebab, para investor meminta implementasi Perpres No 40/2016 bisa dijalankan secepatnya agar mendukung daya saing dan iklim usaha yang kondusif.

Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud menyatakan, penurunan harga gas industri dalam jangka pendek dinilai dapat mengurangi penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, diyakini akan memberi manfaat lebih besar bagi negara seperti dari tambahan pajak seiring pertumbuhan sektor industri.

“Harga input yang tidak kompetitif adalah isu utama di industri manufaktur. Salah satu input itu adalah energi, termasuk gas industri,” ujar dia.

Menurut Zakir, harga energi yang tidak kompetitif akan membuat harga hasil produksi industri menjadi tidak dapat bersaing. Upaya menurunkan harga gas industri dilakukan agar produk yang dihasilkan industri manufaktur dalam negeri bisa kompetitif termasuk saat harus bersaing dengan produk impor.

“Permintaan sisi industri seperti ini, kalau mau mendorong industri, jangan ditarik di depan, tetapi tariklah di belakang. Kalau harga input murah, industri bergerak. Dari situlah akan didapat tambahan perolehan pajak,” papar dia.

Target Menperin

Sementara itu, Kemenperin menilai, penurunan harga gas industri akan menopang daya saing dan produktivitas industri manufaktur nasional. Apabila harga gas industri dapat ditekan hingga US$ 6 per mmbtu, target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,3% pada 2020 tercapai.

Sejumlah besar industri manufaktur dalam negeri membutuhkan gas, baik sebagai energi maupun bahan baku dengan harga yang kompetitif. Itu artinya, gas berperan penting terhadap daya saing sejumlah sektor industri.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, beberapa hal yang menjadi latar belakang pemerintah untuk mendorong penurunan harga gas industri antara lain biaya produksi, harga jual produk, serta permintaan pasar. Bagi industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, seperti industri tekstil hulu, petrokimia hulu, pupuk, keramik dan kaca, harga gas merupakan bagian dari struktur biaya yang cukup besar.

Menurut Menperin, penurunan harga gas juga memiliki efek berganda, seperti peningkatan produksi, peningkatan PDB, meningkatnya keuntungan pada industri-industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, serta meningkatkan jumlah tenaga kerja. Dia mengatakan semakin kecil harga gas, semakin besar pula keuntungan yang diterima oleh semua pihak.

Dia menceritakan, untuk sektor industri teksil, gas memakan biaya produksi sebesar 25% dan saat ini harganya berkisar US$ 9-12 per mmbtu. Ini menyebabkan daya saing menjadi lemah. Bagi sektor industri hulu, akibat tingginya harga gas industri, utilisasi produksi cenderung rendah di kisaran 45%, sehingga sebagian besar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hulu menurunkan kapasitas produksi.

Pada industri petrokimia, dia melanjutkan, harga gas mempengaruhi 70% struktur biaya. Selain itu, belum adanya pasokan bahan baku etilena, propilena, polietilena (PE), polipropilena (PP), DME, dan industri turunannya dari dalam negeri berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan hilir metanol. Dari aspek perdagangan, hal tersebut menyebabkan tingginya impor bahan baku metanol.